Peran dan fungsi media massa sebagai sarana
penyampai informasi kepada publik, dewasa ini sepertinya mengalami distorsi
dalam penerapannya.
Media
dalam realitasnya tak selalu mengungkap realitas apa adanya. Bahkan lebih dari
itu, media berupaya menggiring masyarakat penikmat berita menjadi santapan
lezat bagi mereka untuk diarahkan sekehendak hatinya.
Pers adalah segala sesuatu dari alat-alat
komunikasi massa untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat akan hiburan,
keinginan, berita,peristiwa yang terjadi dalam wujud surat kabar, majalah,
buletin, atau media cetak lain atau disiarkan melalui radio, televisi dan film.
Setiap kali menonton berita, sejumlah stasiun
televisi cenderung memihak kepada kubu salah satu cappres cawapres, sehingga
menurut saya dapat merugikan masyarakat. karena masyarakat digiring untuk
memilih salah satu capres cawapres.
Sejumlah televisi berlomba memanfaatkan frekuensi yang dimiliki publik itu untuk kepentingan salah satu capres dan cawapres.Hal ini tampak bukan hanya pada durasi, tetapi juga frekuensi kemunculan capres tersebut. Bahkan kecenderungan pemberitaannya.
Dalam pertarungan pemilu bertanding dengan
partai partai yang memiliki media TV memang butuh strategi. Hampir setiap hari,
bahkan jauh sebelum masa kampanye. Berbagai Televisi swasta sudah melakukan
soft campaign. Repotnya, mereka tidak bisa dijerat karena iklan politik yang
soft itu masuk ke wilayah abu-abu yang tidak bisa dikenakan sanksi sesuai
aturan yang berlaku. Misalnya, sesuai Peraturan KPU, yang bisa disebut sebagai
sebuah iklan politik, harusnya mengandung dan menyebutkan 3 unsur, yaitu nama,
nomer urut, dan visi-misi.
Namun dalam praktek, banyak ditemukan iklan
politik hanya menyebutkan nama, sehingga KPI tidak bisa menindak kasus ini
lebih jauh, sementara itu bagi masyarakat awam penikmat media, mereka biasanya
akan menelan mentah-mentah informasi yang disajikan oleh media, tanpa terlebih
dahulu melakukan proses penyaringan terhadap informasi yang disampaikan.
Memasuki pilpres kemarin pun, media massa pun
sepertinya sudah kehilangan independensi yang dianutnya. Banyaknya pemilik
korporasi media yang turut serta dalam proses dukung mendukung kandidat membuat
pemberitaan media massa yang dimilikinya terkesan tak seimbang. Sebagaimana
diketahui, saat ini beberapa pemilik media sudah mengarahkan kecenderungan
keberpihakannya kepada salah satu dari dua kandidat calon presiden. Bahkan
hasil Quick Count beberapa lembaga survey yang ditayangkan oleh media-media
swasta tersebut malah menimbulkan kekeliruan sehingga menyebabkan situasi
politik yang semakin memanas.
Pada Pemilu lalu, terdapat sejumlah grup
televisi yang dikuasai oleh figur politisi seperti
Hari Tanoe dari Partai Hanura memiliki MNC
Group (MNC, Global, RCTI),
Surya Paloh dari Partai Nasdem memiliki Metro
TV,
Abu Rizal Bakrie dari Partai Golkar memiliki
Viva (TVOne dan ANTV).
Ada juga Chairul Tanjung yang memiliki
kedekatan dengan Partai Demokrat berkat jabatan sebagai Ketua Dewan Ekonomi
Nasional (DEN) adalah pemilik Trans Corp (Trans TV dan Trans7).
Kompas TV, NET, SCTV, TVRI... Netral terselubung !
Di Amerika keberpihakan itu diakui oleh media
secara terang-terangan sehingga pihak media sudah menakar resiko dan
konsekuensi atas pilihannya. Di masa kampanye pilpres inilah sebuah lembaga
polling ternama di Amerika, Gallup, memperoleh hasil bahwa kepercayaan publik
kepada media di masa pilpres relatif sangat rendah. Hal ini berbanding terbalik
kondisinya dengan di Indonesia.
Berbeda dengan iklan itu terserah...karena
pasang iklan mereka harus bayar,,,,tapi berita adalah hak masyarakat untuk
mengetahui dan mendapatkan informasi yang berimbang dan bijaksana....
MEDIA DI TV HARAP BERSIKAP NETRAL ! Demi
indonesia yang lebih baik.masyarakat memilih dari hati mereka bukan karena
memilih akibat menonton acara berita TV yang tidak berimbang karena
ketidaknetralan mereka dalam menyiarkan tentang berita pilpres.
Kenyataannya, televisi (TV) merupakan sebuah
mesin kontrol pikiran yang sangat masif. Kotak ajaib itu telah mensugesti
penontonnya dengan banyak hal, hingga apa yang seharusnya dilakukan oleh
penonton, bahkan hingga kecenderungan atau cara berpikir penontonnya pun dapat
dikontrol dengan mudah melalui tayangan-tayangan yang menghibur. Bayangkan dampak yang demikian merusak
Buat anak-anak, kebanyakan kartun, memiliki
pesan tersembunyi yang dibalut keindahan gambar yang bertujuan untuk
mempengaruhi anak-anak pada generasi yang akan datang, merusak tatanan nilai
keluarga serta moralitas konservatif keagamaan, selalu berprasangka, dan kurang
tepat dalam berpolitik. TV kini telah memiliki pengaruh besar terhadap
masyarakat. Tidak hanya di dunia barat, juga di Indonesia. Yang menjadi korban,
khususnya adalah anak-anak kecil. Lihatlah, sudah berapa banyak orang tua yang
menjadikan televisi sebagai babysitter anak-anak
mereka, tanpa tahu apa yang mereka tonton.
Bagaimanapun serangan-serang informasi yang
bias oleh media mau tidak mau menjadi semakin sulit untuk dibendung terlebih
lagi kondisi masyarakat Indonesia yang masih mayoritas belum memiliki pemahaman
dan pendidikan politik yang cukup untuk menyaring informasi tersebut maka
masyarakat pedesaan atau pesisir lama kelamaan akan ‘ takluk ‘ juga dengan
gencarnya serangan media tersebut. Ini menjelaskan bahwa media secara
terstruktur melakukan pembelaan terhadap kepentingan pemilik. Membantu mengemas
si pemilik dalam framing pemberitaan serta mengurangi nilai jual lawan lawan
politiknya. Hal yang sangat disayangkan juga adalah KPI, memiliki keterbatasan
hukum dalam mendorong sanksi terhadap stasiun televisi yang melanggar aturan
penyiaran kampanye.
Media juga tutup mata dg perannya menyebarkan kejahatan ke seluruh indonesia.
Media itu punya jaringan di seluruh indonesia. ketimbang menyebarkan kebaikan, media lebih senang menyebarkan siaran buruk, menyimpang, dan kriminal.
Semua media yang menyiarkan tayangan-tayangan
buruk seharusnya ikut dijebloskan ke penjara karena menginspirasi orang lain
untuk berbuat kejahatan.
Setiap kali ada kasus-kasus tertentu yang disorot dan dibesar-besarkan/diblowup media, tidak lama kemudian bermunculan kasus-kasus serupa di berbagai daerah di Indonesia. Coba tebak sendiri siapa dalang penyebarannya kalau bukan media???
Seandainya media digunakan untuk kebaikan, misalkan menyorot dan membesar-besarkan seorang anak miskin yg berhasil jadi pengusaha sukses. lalu muncul anak miskin jadi pengusaha sukses di seluruh negeri.
Seandainya
media digunakan untuk kebaikan. misalkan menyorot dan membesar-besarkan seorang
cacat yg giat bekerja. lalu muncul si cacat yang rajin bekerja di seluruh
negeri,
Seandainya media digunakan untuk kebaikan. misalkan menyorot dan membesar-besarkan seorang kaya yg sangat dermawan dan sederhana. lalu muncul orang-orang kaya yg sangat dermawan dan sederhana lain di seluruh negeri.
Seandainya media digunakan untuk kebaikan. misalkan menyorot dan membesar-besarkan seorang kaya yg sangat dermawan dan sederhana. lalu muncul orang-orang kaya yg sangat dermawan dan sederhana lain di seluruh negeri.
Media lebih suka menyorot dan membesar-besarkan pelaku sodomi, kemudian muncul pelaku-pelaku sodomi lain di seluruh negeri.
Media lebih suka menyorot dan membesar-besarkan
pelaku pencabulan dan pemerkosaan abg, kemudian muncul pelaku-pelaku pencabulan
dan pemerkosaan abg lain di seluruh negeri.
Media lebih suka menyorot dan membesar-besarkan geng motor, kemudian muncul geng-geng motor di seluruh negeri.
Media lebih suka menyorot dan membesar-besarkan geng motor, kemudian muncul geng-geng motor di seluruh negeri.
Media lebih suka menyorot dan membesar-besarkan
korupsi, yang menginspirasi korupsi di seluruh negeri.
Media lebih suka menayangkan sinetron-sinetron
yang penuh penyimpangan dan hal-hal yang tidak layak, kemudian muncul
peniru-peniru prilaku ini di seluruh negeri.
Media sedang mendegradasikan moral bangsa ini
ke titik nadir.
MEDIA ADALAH PENYEBAB UTAMA DEGRADASI moral bangsa Indonesia beberapa tahun belakangan ini, baik di kalangan anak-anak, remaja, maupun dewasa.
MEDIA ADALAH PENYEBAB UTAMA DEGRADASI moral bangsa Indonesia beberapa tahun belakangan ini, baik di kalangan anak-anak, remaja, maupun dewasa.
Kalaupun harus ada revolusi mental, media lah
yang harus jadi target utamanya. Media harus diregulasi ketat untuk tidak lagi
menyiarkan keburukan, penyimpangan, dan kejahatan. Diganti dengan berita-berita
baik, mendidik, menginspirasi kebaikan dan prestasi, membuat orang yang
menyaksikannya menjadi lebih bahagia. Kalaupun harus ada tayangan/berita buruk,
jamnya harus diawasi dan wajib ditayangkan di jam-jam dini hari menjelang
siaran selesai.
Kesimpulan :
So... Turn Off Your Television ! Jangan Nonton TV jangan baca koran ! semua itu bikin mumet ! tambah masalah pikiran.
0 comments:
Post a Comment